@ Esai Kemerdekaan: Eko
Junaedi
Mendengar nama Daud, kita akan segera ingat dengan sosok
nabi yang kejatuhan belalang emas, diberi tambahan umur dari jatahnya Nabi Adam
as, bertasbih bersama dengan burung dan gunung, ahli puasa hingga nama puasanya
disematkan kepada namanya (Afdholush shiyaam, Shiyaamu dawuud), nabi yang
diberi kerajaan dan diberi kitab (zabur). Baiklah, beragam masalah itu sudah
banyak dibahas diberbagai majelis ilmu. Kali ini, mari kita fokuskan pembahasan
terhadap perjalanan Nabi Daud hingga bisa naik tahta. Semoga bisa bermanfaat
bagi kita.
Ekspedisi Militer
Daud yang masih remaja bergabung dalam mobilisasi militer
yang dipimpin oleh Thalut. Thalut adalah sosok panglima perang yang hebat, yang
digambarkan dalam Al Qur’an “Basthatan fil ‘ilmi wal jism”. Pasukan ini
bergerak melewati medan yang sulit dengan jarak yang jauh, untuk berperang
melawan pasukan Jalut. Daud yang masih remaja berhasil menempuh perjalanan yang
melelahkan, berhasil melewati ujian berupa sungai dan pada akhirnya dia juga
yang berhasil membunuh Jalut.
Sosok Daud sering digambarkan sebagai seorang anak kecil.
Ini perlu dikoreksi karena dalam islam, seseorang baru diijinkan berperang
apabila usianya sudah 16 tahun. Pada saat perang Badar, Abdullah bin Umar ra
ingin mengikuti rombongan pasukan tetapi tidak diijinkan karena belum cukup
umur. Baru pada saat perang Uhud, dia diijinkan untuk ikut karena usianya sudah
16 tahun. Jadi pada saat mengikuti ekspedisi militer, Daud bukanlah sosok anak
kecil tapi sudah berusia remaja.
Keterlibatan seseorang dalam mempertahankan negerinya harus
dimulai sejak remaja (baligh). Proses interaksi yang lama memastikan tidak
adanya “Pemimpin karbitan”, sekaligus memudahkan penelusuran rekam jejak dalam
proses penilaian dan kenaikan pangkat, jabatan, penghargaan dan kedudukan.
Rasulullah saw sudah berpartisipasi dalam perang fijar saat berusia remaja.
Kita terlibat dalam proses pemilu (memilih pemimpin atau wakil rakyat) saat
berusia 17 tahun. Dan seterusnya.
Tetap Berkiprah
Setelah Jalut berhasi dikalahkan, Thalut naik tahta. Kita
tidak mengetahui secara pasti peran dan posisi Daud setelah peperangan itu.
Kita juga tidak tahu kapan Daud diangkat menjadi nabi dan menerima kitab Zabur.
Kita hanya tahu bahwa setelah Thalut mangkat, maka Daud-lah yang naik tahta
menggantikannya.
Dalam sistem kerajaan, biasanya seorang raja akan mewariskan
tahtanya pada anaknya. Sebagaimana halnya Mu‘awiyah bin Abu Sufyan ra
mengangkat Yazid bin Mu‘awiyah menjadi khalifah penerusnya. Kita juga tidak
tahu apakah Thalut punya anak atau tidak, tetapi yang jelas Daud bukanlah
anaknya Thalut. Lalu bagaimana bisa Daud naik tahta?
Jalur pemberontakan sepertinya tidak mungkin, karena tidak
ada riwayatnya. Terlebih, beliau pasti tahu keutamaan Thalut sebagai panglima
yang dipilih oleh nabi Bani Israel pada masanya. Maka yang paling mungkin
adalah faktor kedekatan, loyalitas, prestasi dan hal - hal profesional lainnya
sehingga dia naik tahta menjadi raja. Apakah karena diwasiatkan oleh Thalut
atau karena dibai’at oleh rakyatnya, kita tidak tahu.
Kita bisa menduga dengan dugaan kuat, bahwa Daud terus
berkiprah pasca pertempuran membunuh Jalut. Entah sebagai tentara, birokrat
atau lainnya, kita tidak tahu. Berbagai capaian prestasinya menjadi catatan dan
berbuah pengakuan, hingga akhirnya diangkat menjadi pemimpin. Kisahnya mungkin
bisa disamakan dengan wasiat Abu Bakar untuk mengangkat Umar bin Khathab, atau
wasiat dari Sulaiman bin Abdul Malik untuk mengangkat Umar bin Abdul Azis.
Ketika terjadi krisis besar disuatu negeri, banyak orang -
orang hebat yang akan melakukan kerja - kerja besar dan amal - amal
kepahlawanan. Mereka keluar dari kehidupannya, dari lingkungannya, dari
pekerjaannya, dari kesibukannya untuk berjuang, bahu membahu mengusir penjajah,
mengatasi krisis, menanggulangi bencana dll. Namun setelah penjajah terusir,
krisis mereda dan bencana tertangani, banyak dari mereka yang kembali ke peran,
kesibukan dan lingkungannya semula.
Mereka terpanggil untuk merebut kemerdekaan, tapi kurang
terpanggil untuk mengisi dan menjaga kemerdekaan. Akibatnya, banyak posisi
penting baik ditingkat birokrat, partai, NGO, pengusaha, militer, media dll
yang diisi oleh orang - orang yang tidak ikut berjuang dan tidak memiliki
idealisme kemerdekaan. Mereka membawa negeri ini ke arah yang salah, tanpa
merasa bersalah. Dan akhirnya banyak orang hebat dan segaa kiprah
pengabdiannya, hanya menjadi penonton atau bahkan korban kebijakan.
Berkaca pada kisah Daud, semestinya mereka yang telah
berkiprah untuk berjuang sejak awal memiliki tanggung jawab moral untuk ikut
berpartisipasi membangun negeri. Bukan hanya diranah privat, tapi juga diranah
publik. Bukan hanya melalui jalur kultural tapi juga dengan gerakan struktural.
Para pemimpin membutuhkan sokongan dan dukungan, bukan hanya dimasa krisis tapi
juga dimasa normal. Karena hajat sebuah negara juga bukan hanya agar bisa
bertahan, tapi juga bisa terus tumbuh dan berkembang.
Rantai Kejayaan
Daud ikut berpartisipasi membuka gerbang kemenangan bagi
bangsanya. Dia juga menguatkan pemimpin yang terpilih. Dia menerima estafet
kepemimpinan dari Thalut. Dan setelahnya, dia mewariskan kepada anaknya yang
disebut - sebut sebagai Raja dan Nabi yang paling kaya, paling sukses dan besar
kerajaannya, yakni Sulaiman As. Kita mudah mendeteksi peran Daud, yakni sebagai
mata rantai penghubung kejayaan bangsa.
Perjuangan yang kita lakukan, belum tentu bisa kita nikmati
hasilnya. Apakah akan langsung berada ditangan kita atau menunggu sekian waktu
lagi, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Jikapun nanti kita berkesempatan untuk
naik ke panggung sejarah, apakah kejayaan puncak akan terjadi dimasa kita atau
masa sesudah kita, hanya waktu pula yang bisa menjawabnya. Tetapi peran - peran
untuk menjadi mata rantai kejayaan itulah yang harus terus menerus kita
lakukan.
Para pendahulu kita telah mengorbankan segalanya untuk
merebut kemerdekaan. Tidak layak jika bangsa ini kita tinggalkan karena
dianggap sebagai bangsa yang menganut hukum thaghut. Tidak layak pula jika
kepemimpinan dan kekayaan bangsa ini kita serahkan pada bangsa lain karena
merasa inferior. Sebaliknya, kita harus berperan sebagai mata rantai kejayaan.
Yakni mengambil kesempatan jika dimungkinkan serta menyiapkan landasan yang
kokoh bagi generasi penerus kelak.
Khatimah
Generasi Thalut sudah pasti berlalu dari bangsa ini, karena
pergerakan fisik mengusir penjajah memang sudah dilalui. Kami sungguh berharap
generasi saat ini adalah generasinya Daud yang berkiprah membangun negeri dan
pada saatnya nanti berhasil naik ke pucuk pimpinan negeri. Mungkin kita sendiri
juga tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk memajukan negeri ke puncak
kejayaan. Hm, biarlah itu jadi tugas generasi selanjutnya, yakni generasinya
Sulaiman.
Pertanyaanya, sudahkan kita memainkan peran sebagai
generasinya Daud? Sudahkah kita menyiapkan generasinya Sulaiman? Hm,.. Hanya
Allah dan antum yang tahu. Semoga demikian.
0 komentar:
Posting Komentar