Oleh : Cahyadi Takariawan
PKS KOTA MAGELANG -- Apa yang kita dapatkan dari film “Habibie &
Ainun” yang sekarang tengah diputar di berbagai bioskop? Saya sendiri
belum menonton dan tidak tertarik untuk menontonnya. Membaca resensinya
saja –seperti yang sudah diposting oleh mbak Winda Maulida
(http://www.kompasiana.com/windamaulida) dan teman lainnya di Kompasiana
– sudah membuat saya menangis, apalagi kalau langsung menonton filmnya.
Saya tidak membayangkan akan berapa hari saya menangis. Seperti yang
saya dengar dari semua teman yang pernah menyaksikan film tersebut,
mereka mengaku menangis. Termasuk teman yang tidak biasa menangis.
Dikisahkan
Habibie dan Ainun di masa remaja menempuh pendidikan di SMP yang sama.
Tahun demi tahun pun berlalu, hingga pada tahun 1962, mereka berdua
bertemu lagi di Bandung. Habibie jatuh cinta pada Ainun yang sudah
berubah menjadi gadis cantik. Karena kecantikannya banyak pria yang
menaruh hati pada Ainun. Kebanyakan yang menyukai Ainun adalah pria
berpangkat dan kaya, tapi Habibie sama sekali tidak minder. Dengan
percaya diri ia datang ke rumah Ainun menggunakan becak sedangkan para
‘pesaingnya’ kebanyakan bermobil.
Ainun tidak silau dengan semua
pangkat dan kekayaan, ia lebih memilih Habibie dan menikah dengannya.
Setelah menikah, mereka pergi ke Jerman. Di sana Habibie menyelesaikan
studi S3-nya dan berharap bisa kembali ke Indonesia untuk bisa membuat
pesawat terbang produksi anak bangsa seperti janji yang pernah diucapkan
ketika sakit.
Habibie yang dihormati di Jerman, ternyata tidak
dihormati di negerinya sendiri. Mimpi untuk membangun tanah air
mengalami banyak hambatan. Terpaksa ia bekerja di industri Kereta Api di
Jerman. Sampai tiba masanya Habibie memiliki kesempatan untuk
mewujudkan mimpinya. Ia kembali ke Indonesia dan mulai berkarya. Habibie
sukses mengembangkan teknologi di tanah air.
Kesuksesan Habibie
mengabdikan diri pada negara, berdampak pada keluarganya. Ia tak lagi
memiliki waktu untuk keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia hanya
sempat tidur satu jam setiap hari. Usai melepas jabatan sebagai Presiden
RI, ia kembali ke Jerman bersama Ainun. Di Jerman mereka hidup lebih
tenang dan damai. Tapi tak bertahan lama. Ainun divonis menderita kanker
ovarium stadium 4, memaksanya harus dirawat di rumah sakit dan
menjalankan operasi berkali-kali.
Selama sakit, Habibie dengan
setia merawat Ainun dan menjaganya sampai Ainun menutup mata. Sebuah
perpisahan yang sangat berat bagi siapapun yang saling mencinta.
Kebersamaan Yang Indah
Sangat
mendalam kebersamaan Habibie dengan Ainun. Rasa cinta terhadap sang
istri sedemikian besar, hingga Habibie merasakan kekosongan dalam relung
jiwanya. Konon, kira-kira dua pekan setelah kematian Ainun, suatu hari
Habibie memakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir,
sambil memanggil “Ainun… Ainun…” Ia mencari Ainun di setiap sudut rumah.
Ainun
adalah perempuan istimewa di mata Habibie. Ia menepati janji untuk
selalu mendampingi Habibie sampai akhir hidupnya, di kala susah maupun
senang. Bahkan pada detik-detik terakhir menjelang kepergiannya, ia
tetap memikirkan Habibie. “Saya tidak bisa, saya tidak bisa berjanji
akan menjadi istri yang sempurna untukmu. Tapi saya akan selalu
mendampingimu, saya janji itu.” Itu janji Ainun ketika dilamar oleh
Habibie. Dan ia membuktikannya.
Episode Habibie dan Ainun adalah
contoh keluarga yang mampu menjaga kebersamaan hingga akhir usia. Sudah
pasti, mereka juga diterpa berbagai dinamika kehidupan layaknya pasangan
lainnya. Namun Habibie dan Ainun mampu bertahan dan menjaga kebersamaan
yang begitu indah. Habibie sebagai suami memiliki banyak kelemahan,
sebagaimana suami lainnya. Ainun sebagai istri juga memiliki banyak
kekurangan, sebagaimana istri lainnya. Namun mereka berdua mampu menjadi
pasangan yang setia dan bahagia hingga akhir usia.
Tidak perlu
sempurna untuk menjadi pasangan yang setia dan bahagia. Semua dari kita
memiliki kelemahan dan kekurangan. Tidak ada suami yang sempurna,
sebagaimana tidak ada istri yang sempurna. Untuk itu, yang diperlukan
adalah kedewasaan sikap dalam menjalani kehidupan keluarga. Setiap
badai, setiap masalah, setiap tantangan, harus disikapi dengan penuh
kehati-hatian, agar tidak menggoyahkan kekokohan keluarga. Masalah
sebesar apapun akan terasa indah, apabila mampu disikapi dengan tepat
dan dilewati dengan kebersamaan.
Kita Hadapi Bersama
Di
antara kunci menikmati kebersamaan adalah pada sikap suami dan istri
saat menghadapi permasalahan. “Kita hadapi bersama”, adalah kata
kuncinya. Persoalan suami dan istri harus dihadapi bersama, bukan saling
melempar kesalahan kepada pihak lainnya. Kadang suami merasa benar
sendiri, dan menganggap istri yang salah. Kadang istri merasa selalu
benar, dan suamilah yang salah. Sikap saling melempar ini tidak
produktif, karena menunjukkan ketidakdewasaan sikap hidup berkeluarga.
“Itu
masalahmu sendiri, bukan masalahku”, ungkapan seperti ini menandakan
tidak adanya kebersamaan saat menghadapi permasalahan. Bahkan seandainya
masalah tersebut terkait pekerjaan di kantor, atau urusan yang
menyangkut jabatan, profesi, atau posisi di tempat kerja. Suami dan
istri tetap memiliki peran saling meringankan dengan berbagai cara yang
bijak. Bukan intervensi dalam sisi profesional atau jabatan, tetapi
intervensi dalam kaitan moral. Sebagai suami istri, yang harus saling
berbagi, saling meringankan beban, saling membantu dan menjaga.
Masalah
apapun akan lebih ringan dihadapi, apabila suami dan istri mampu
menjaga sikap “kita hadapi bersama”. Sikap ini menunjukkan kuatnya
kebersamaan antara suami dan istri. “Ini masalah kita, maka mari kita
hadapi bersama”. Alangkah indah sikap seperti ini. Sebuah kedewasaan
dalam menjalani hidup bersama di dalam rumah tangga. Suami dan istri
saling bergandengan tangan, melewati hari-hari penuh kebahagiaan, karena
mereka mampu merawat kebersamaan.
Selamat pagi, selamat beraktivitas dengan penuh cinta kepada keluarga.[dakwatuna]
0 komentar:
Posting Komentar