Kalau ada sesosok ayah yang namanya terukir sebagai nama surat dalam Al-Qur'an, maka Luqman lah orangnya. Lalu kalau namanya terukir karena kualitas didikannya pada anak-anaknya, kurang apalagi bagi ayah masa kini untuk mengambil inspirasi dari gaya mendidik Luqman Al-Hakim?
Menurut
Ibnu Katsir, sosok Luqman yang diceritakan adalah Luqman bin Anqa' bin
Sadun. Ada sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa Luqman adalah sosok
budak Habasyah berkulit hitam. Beliau pun bukan seorang Nabi. Abdullah
bin Umar Al Khattab berkata :”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
‘Sesungguhnya aku berkata bahwa Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi
seorang hamba yang dilindungi Tuhan, banyak bertafakur dan baik
keyakinannya. Ia mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Karena itu
ia dianugerahi hikmah kebijaksanaan.” (Mutafaq ‘Alaih). Sungguh pun
begitu, ia mendapat gelar "Al-Hakim" karena kebijaksanaannya. Dan Allah
swt sendiri yang mengatakan bahwa Luqman telah dianugerahi hikmah. "Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji"". (QS Luqman : 12)
Perhatikan petuah tentang syukur darinya. Bila Luqman adalah seorang
bangsawan, wajar kalau ia senantiasa bersyukur. Tapi posisinya hanya
sebagai budak, dan itu pun ia mampu memahami syukur lebih baik daripada
orang yang memiliki kedudukan jauh lebih baik darinya. Keadaan seperti
itu tak akan dimiliki kecuali oleh orang yang bisa menyerap hikmah pada
setiap keadaan yang dirasakannya.
Cerita tentang Luqman ada pada ayat 12 sampai 19. Dibuka dengan
pengenalan terhadap Luqman sebagai orang yang telah diberi hikmah.
Sebagai garansi bahwa apa yang diajarkannya adalah ajaran yang luhur.
Tujuh ayat petuah Luqman pada anaknya terdiri dari 3 ayat perintah (ayat
14, 17, 19) dan 3 ayat larangan (ayat 13, 15, 18). Tiga ayat pertama
berbicara tentang aqidah, tiga ayat terakhir berbicara tentang ubudiyah,
dakwah, dan akhlaq. Di tengah-tengahnya adalah ayat yang berpesan untuk
senantiasa muroqobatullah. Ayat pertama yang bercerita tentang
pengajaran Luqman pada anaknya (ayat 12), disebutkan "wa huwa ya’izhuh".
Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti
mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.
"Ya bunayya..." Begitu panggilan lembut Luqman pada anaknya. Sudah
seharusnya seorang ayah memiliki kata-kata yang spesial buat anaknya
yang mencerminkan betapa dalam kasih sang ayah kepada anak. Kata-kata
yang memiliki muatan cinta dapat melunakkan hati. Sedangkan kata-kata
yang terkesan menyepelekan bisa memantik api permusuhan sang anak pada
orang tuanya. Sapaan "Eh... tong..." adalah panggilan yang menjauh dari
ajaran kasih sayang Luqman. Bila kita tidak ingin anak kita berkata
"cih.." pada kita, maka menjauhlah dari panggilan yang merendahkan si
anak.
Hati yang dibuka dengan cinta, siap dijejalkan ajaran aqidah yang
mendasar. Ajaran aqidah harus meresap dalam hati sang anak. Oleh karena
itu yang dibutuhkan adalah hati yang lembut. Sedangkan hati yang keras
hanya mementalkan setiap petuah yang datang. Aqidah adalah ajaran yang
pertama-tama Rasulullah sampaikan pada umat manusia di awal kenabiannya.
Aqidah lah tema yang Rasulullah perintahkan pada Muadz bin Jabal r.a.
untuk diajarkan pada penduduk Yaman. Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi
SAW mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berkata kepadanya:
“Engkau akan mendatangi orang-orang dari kaum Yahudi dan Nasrani. Maka
hal pertama yang harus engkau dakwahkan kepada mereka adalah bahwa
mereka hanya beribadah kepada Allah saja.” (Muttafaq Alaih)
Setelah si anak memiliki pemahaman tentang aqidah, maka kesadaran
muroqobatullah akan mudah dibangkitkan. Karena ia tahu bahwa wajar
apabila Allah senantiasa mengawasinya. Tetapi bila sang anak tak
mengenal Allah dengan baik dan kemudian sudah dikenalkan dengan
muroqobatullah, mungkin ia akan berfikir "Ada urusan apa Allah mengawasi
saya?" Wal'iyadzu billah.
Kesadaran akan pengawasan Allah ini lah yang bisa membuat sholatnya
ihsan, tak takut untuk beramar ma'ruf nahi munkar, dan senantiasa
berakhlaqul karimah di tengah manusia.
Apa yang diajarkan Luqman ini berhubungan dengan ayat lain di dalam
surat yang sama. Larangan Luqman pada anaknya agar tidak menyekutukan
Allah (ayat 13), bersinggungan dengan ayat ke-11. Luqman berkata bahwa
orang yang menyekutukan Allah itu adalah orang yang zhalim. Secara
bahasa, azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya. Syirik disebut azh-zhulm karena menempatkan Pencipta setara
dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang
tidak berhak disembah, atau melakukan penyembahan kepada makhluk yang
tidak berhak disembah. Dan pada ayat ke-11 Allah menantang orang-orang
yang zhalim itu agar memperlihatkan apa yang telah diciptakan oleh
sembahan-Nya.
Luqman melarang sang anak agar tidak mentaati orang tua apabila mengajak
dan memaksa menyekutukan Allah (ayat 15). Sedangkan pada ayat 21 Allah
bercerita tentang keadaan orang yang jauh dari apa yang diajarkan Luqman
pada anaknya, yaitu tentang orang yang mengikuti ajaran nenek moyang
mereka yang turun menurun padahal syetan menyeru mereka ke neraka
melalui ajaran itu.
Cerita tentang Luqman ini mungkin hanya sedikit di singgung dalam
Al-Qur'an, tetapi kita bisa mengambil pelajaran yang dalam. Kita semua
bisa mengambil hikmah pelajaran dari sedikit cerita ini,
mengembangkannya sesuai dengan kondisi yang masing-masing kita alami.
Jadilah ayah yang hebat seperti Luqman. Kriterianya bukan lah ayah yang
jagoan, ayah yang pintar masak, ayah yang ternama di masyarakat, tetapi
ayah yang kata-katanya bisa membekas pada hati sang anak dan ayah yang
memilih materi yang tepat untuk diajarkan pada anaknya. Allahua'lam
bish-showab.
---------
Sumber : Islamedia
0 komentar:
Posting Komentar