Oleh: H. Jazuli Juwaini, MA
(Ketua DPP PKS Bidang Pengembangan Ekonomi dan Kewirausahaan)
Dalam
Ensiklopedi Muhammad Sebagai Pedagang, Afzalur Rahman memaparkan, Muhammad
tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu Thalib dan terus belajar mengenai bisnis
perdagangan dari pamannya ini. Dalam
menggeluti profesinya sebagai pedagang, Nabi tak sekadar mencari nafkah yang
halal guna memenuhi biaya hidup, tetapi juga untuk membangun reputasinya agar
orang-orang kaya berdatangan dan mempercayakan dana mereka kepadanya.
Berbekal pengalamannya dalam berdagang dan reputasinya yang terkenal sebagai pedagang yang terpercaya dan jujur, beliau memperoleh banyak kesempatan berdagang dengan modal orang lain, termasuk di antaranya modal dari seorang pengusaha kaya raya Khadijah, yang kelak menjadi istrinya, dengan mahar 20 ekor unta.
Rasulullah
telah menjadi pedagang ideal yang sukses dan memberi petunjuk bagaimana menjadi
pedagang ideal dan sukses. Beliau selalu memegang prinsip kejujuran dan
keadilan dalam berhubungan dengan para pelanggan. Muhammad SAW selalu mengikuti
prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam setiap transaksi. Beliau juga
selalu menasihati para sahabatnya untuk melakukan hal serupa.
Ketika berkuasa dan menjadi kepala negara Madinah, beliau telah mengikis habis transaksi-transaksi dagang dari segala macam praktik yang mengandung unsur-unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian, keraguan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan, dan pasar gelap. Nabi Muhammad juga melakukan standardisasi timbangan dan ukuran, serta melarang orang-orang mempergunakan standar timbangan dan ukuran lain yang kurang dapat dijadikan pegangan.
Berdagang
merupakan sarana untuk meraih rezeki Allah dan mendapatkan kekayaan. Dan,
menjadi kaya raya adalah impian semua orang. Sifat Allah Ar-Rozzaq (Maha Memberi Rizqi), Al-Ghoniy
(Maha Kaya) dan Al-Mughniy (Maha
Pemberi Kekayaan) yang ditanamkan kepada manusia menjadikan manusia ingin
menguasai kekayaan. Pada zaman keemasan Islam (khoirul qurun), para sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menguasai kekayaan dengan motivasi
terbaik mereka, beribadah kepada Allah. Dan tentu saja, rizqi yang mereka
terima, hanya yang halal saja. Ciri mereka ada pada keteguhan,komitment
syariah dalam setiap bisnis, akad, modal dan kerja keras dalam berproduksi
serta menafkahkan harta waktu dan dirinya untuk mencapai ridha Allah, namun
sangat hemat dalam konsumsi.
Betapa banyak orang kaya yang
kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta'ala,
seperti Nabi Sulaiman 'alaihis
salam. Demikian pula (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) 'Utsman
(bin 'Affan) radhiyallahu
'anhu dan 'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu
'anhu.
Banyak ayat Al-Quran dan hadits
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki
harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya:
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan),
yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang."
(QS. An-Nur: 37)
Imam Al-Qurthubi berkata,
"Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak
disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba waktu shalat fardhu, hendaknya
dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia
termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta'ala)
dalam ayat ini."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)
pernah datang menemui beliau shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala
(dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala),
dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti
kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi
mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah
haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.…"
Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya." (Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 807 dan
5970) dan Muslim (no. 595).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan
besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di
jalan Allah Subhanahu
wa Ta'ala, bahkan di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar --ketika menjelaskan
hadits ini-- berkata, "Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan)
lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta'ala)
pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan
Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh
orang kaya." (Kitab Fathul
Bari: 3/298)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ
لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi
orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela
adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri.
Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا
وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki
yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan
kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى
، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni
as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta
pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim
no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna
menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al
ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di
sisi manusia.”
Karena itu bagi seorang muslim memiliki harta sebanyak-banyak sangat
dianjurkan, tapi Islam mengingatkan bahwa harta yang dikumpulkan itu bukanlah
tujuan, tapi sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan menegakkan kalimah Allah
di muka bumi. Dan telah menjadi sebuah kenyataan bahwa perjuangan tidak akan
berjalan dengan optimal tanpa dibarengi dengan ketersediaan harta benda.
Rasulullah selain dengan harta beliau sendiri ditambah dengan harta ummul
mukminin Khadijah menyumbangkan harta untuk perjuangan kaum muslimin. Khalifah
Abu Bakar hampir seratus persen menyumbangkan harta kekayaan untuk Islam,
Amirul mukminin Umar bin Khattab dengan perjuangan Islam berkontribusi lima
puluh persen dari harta kekayaannya, dan yang paling melegenda sahabat nabi
paling kaya Abdurrahman bin Auf tidak pernah berhenti bersedekah dengan
hartanya untuk Islam sampai ajal menjemputnya. Justru dengan harta bendanya
inilah beliau menjadi salah satu sahabat yang dijamin rasulullah masuk surga.
Pendek kata, semua perjuangan Islam dari dulu hingga sekarang tidak pernah
lepas dari dukungan materi. Karena itu mengumpulkan harta benda untuk tercapainya
sebuah perjuangan menjadi wajib hukumnya. Dan, ternyata semua harta benda para
sahabat yang memiliki kontribusi besar dalam memperjuangkan Islam itu didapat
dari hasil perniagaan atau wirausaha.
-----
Daftar Pustaka:
Imam Adz-Zahabi, Siyaru A'lamin Nubala
Ali Fikri, Ahsan
al-Qasas, Jil. 4, Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Moh. Ali al-Sayis, Tarīkh Fiqh al-Islami, Bairut: Dār al-Fikr al-Mu’āsir, 1999.
Al-Imam Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-'Asqalani,
Taqribut Tahdzib
Al-Imam Al-Mizzi, Tahdzibul Kamal
Syeikh Muhammad Hisyam Al Kabbani, Tasawuf dan Ihsan
Dr. Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Hayaah at-Taabi’iin, Jld.VI,
h.127-144
Al-Shairazi, al-Muhazzab, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, jil. 1.
Al-Muslim, Shahih
Muslim, jil. 1, ter., Bandung:
Syarikat al-Ma’arif li al-Ta’lif wa al-Nasr, tt.
Al-Nawawi, al-majmu
‘’Ala Sarh al-Muhaddab, Jil. 9.
Moh. Al-Hudhāri, Tarīkh al-Tashrī’ al-Islāmī,
Kairo: Matba’at Dar ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981.
Hepi Andi Bustoni, 101 Sahabat Nabi, Pustaka Al Kautsar,
2002.
Abdullah bin Taslim al-Buthoni,
M.A.,
Pengusaha Sukses Dunia dan Akhirat,
Mungkinkah?, Artikel www.pengusahamuslim.com, Kota Kendari, 17
Dzulqa'dah 1431
Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah, Mutiara Hikmah, Kisah Para Kekasih Allah,
Penerbit Darul Hikmah
Muhammad Abduh Tuasikal, Kaya Hati, Itlah Kaya Senyatanya, Artikel Majalah
Pengusaha Muslim, dipublish
ulang oleh www.rumasyho.com, Panggang-GK, 1 Jumadits Tsani 1431 H (14/05/2010)
Berguru pada Ulama-ulama Kaya,
Majalah Tarbawi edisi 246 tahun 2012
0 komentar:
Posting Komentar