" Bersama PKS )|( , Membangun Magelang, Menuju Indonesia yang Adil dan Sejahtera, dengan : Cinta, Kerja, Harmoni "
Home » » Reload | Tujuan - Tujuan Keluarga [Maqashidul Usrah]

Reload | Tujuan - Tujuan Keluarga [Maqashidul Usrah]

Written By PKS KOTA MAGELANG on Rabu, 27 Maret 2013 | 27.3.13

(ilustrasi .Inet).
PKS KOTA MAGELANG -- [Oase], Allah SWT telah menggariskan beberapa tujuan dari pembentukan keluarga, antara lain: Memelihara keturunan (menjaga eksistensi manusia), merealisasikan ketentraman, cinta dankasih sayang, memelihara nasab, penjagaan diri, memelihara keberagamaan dalam keluarga.

Memelihara Keturunan (eksistensi manusia)Tujuan pertama pembentukan keluarga dalam syariat Islam adalah untuk memelihara keturunan atau menjaga eksistensi manusia agar bisa memakmurkan bumi dan menjaminkesinambungan antar generasi. Karena itulah Allah menjadikan nafsu seksual menjadi fitrahpada setiap insan, agar menjadi sarana natural bagi kelahiran yang disyariatkan,dan nafsusexual bukan menjadi tujuan akhir.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Islam membatasi pernikahan yang disyariatkan hanyaan antara laki-laki dan perempuan. Dan mengharamkan semua jenis “perkawinan” diluar pernikahan yang disyariatkan ini. Islam juga mengharamkan hubungan abnormal yang tidakmembawa kepada kelahiran dan melarang pengaturan keturunan (program keluargaberencana atau KB) kecuali atas kesepakatan suami-isteri.

Dalam kaitan ini Allah berfirman, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) danmenjadikan kamu pemakmurnya" (Hud:61) dan firman-Nya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (AlHujurat: 13)

Dalam sebuah hadits Nabi bersabda,
“Nikahilah perempuan yang besar rasa cintanya dan (berpotensi)melahirkan banyak anak, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat.”(Hadits shahih riwayat Ibnu Hibban)

Menurut syariat pengaturan keturunan itu tidak boleh kecuali atas kesepakatan suami-isteri; karena kedua-duanya mempunyai hajat dalam permasalahan ini dan merekalah yang paling mengetahui seberapa penting dan maslahat mengikuti program KB tersebut. Maka, melakukan paksaan kepada pasangan suami-isteri untuk mengikuti program KB adalah sesuatu yng tidak diperbolehkan dan menyalahi aturan syariat.

Pengaturan keturunan yang dimaksud adalah menjadikan jarak antara kelahiran satu anak dengan anak lainnya, sehingga pada rentang waktu ini memungkinkan untuk bisa memberikan hak-hak anak dalam hal penyusuan dan pemeliharaan secara lebih memadai. Ini diperbolehkan. Masa penyusuan adalah dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakannya, sebagaimana dalam firman Allah,

“ dan menyapihnya dalam usia dua tahun.” (QS. Lukman :14)

Tetapi jika yang dimaksud pengaturan keturunan itu adalah menghalangi kelahiran sama sekali, maka syariat tidak memperbolehkannya karena bertolak belakang dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah). Akan tetapi permasalahan pengaturan keturunan ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga berdasarkan kesepakatan antara suami dan isteri, dan tidak dijadikan pijakan umum bagi orang-orang di berbagai negara lainya. Hal yang lebih prioritas dari sekedar mengatur keturunan adalah mencurahkan segenap upayaupaya nyata terstruktur untuk mengefektifkan pendayagunaan potensi-potensi yang terbuang.

Diantara beberapa alasan mengapa pasangan suami-isteri melakukan pengaturan keturunan adalah :

1. Perasaan khawatir akan keselamatan dan kondisi kesehatan sang ibu dari kehamilan dan melahirkan. Hal ini berdasar pada pengalaman atau rekomendasi dokter terpercaya.

Allah berfirman, “ Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimi sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS. Al Baqarah: 195)

dan firman-Nya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisaa`: 29)

2.
Kesulitan ekonomi sering menjerumuskan seseorang pada kesulitan untuk komitmen menjalankan agamanya, maka dia pun rela menerima barang haram, melakukan perbuatan terlarang demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya,

Allah berfirman,“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian,” (QS. Al Baqarah: 185),

dan firman-Nya, “Allah tidak ingin menyulitkan kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

3. Kekhawatiran jika anaknya yang masih menyusui akan kurang terawat ketika ibunya sudah hamil lagi. Tentu saja jika ada rujukan atau rekomendasi dokter muslim yang pakar dibidang itu. Rasulullah saw bersabda, “ Janganlah kalian bunuh anak-anak kalian secara sembunyi-sembunyi)

Rasul bersabda : “ Aku pernah berpikir untuk melarang perbuatan Ghilah (menjima' isteri disaat masih menyusui bayi) hingga aku teringat bahwa orang Romawi dan Persia melakukan hal tersebut dan tidak membahayakan anak-anak mereka.” [hadits shahih riwayat Malik, Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah]

Seolah-olah Rasulullah saw melihat bahwa kondisi seperti ini hanya bersifat kasuistik, tidak membahayakan umat secara keseluruhan, buktinya perbuatan ini tidak membahayakan bangsa Romawi dan Persia yang notabene keduanya sebagai dua kekuatan adidaya ketika itu.

Mewujudkan ketentraman, Cinta dan Kasih sayang
Agar hubungan suami-isteri ini tidak terbatas pada hubungan fisik semata, maka syariat Islam telah mengingatkan bahwa tujuan dari ikatan ini adalah terwujudnya suasana tentram pada diri pasangan suami-isteri. Terwujudnya cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua.

Dengan seperti itu, maka syariat Islam telah menjamin bagi setiap anggota keluarga kehidupan sosial yang damai penuh kebahagiaan, panglimanya adalah cinta, kasih sayang, dan tolong menolong dalam suka dan duka. Terwujudnya rasa tentram dan suasana saling mempercayai. Maka untuk mewujudkan tujuan ini, Islam mensyariatkan hukum-hukum dan etika-etika yang mengatur pola hubungan antara suami-isteri, serta hukum-hukum lain yang menjadikan suasana kekeluargaan yang penuh rasa tentram serta berbagai nuansa jiwa yang memancarkan kebahagiaan. Sehingga hubungan suami-isteri tidak hanya dibatasi dalam bentuk fisik semata,

Allah berfirman, “Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang ma'ruf” (An Nisaa`: 19) dan

yang dimaksud ma'ruf disini adalah apa yang dianggap sebagai tradisi yang lurus, dan menjadi kebiasaan orang-orang yang moderat dan konsisten.

Dalam ayat lain Allah berfirman, “ Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isterimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” (Al Baqarah: 187)

ungkapan tentang hubungan (suami-isteri) di ayat ini diibaratkan dengan pakain mengisyaratkan makna perhiasan, menutup, dan merekatkan. Allah berfirman, “ Maka tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal dianatara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) sebagian yang lain.” (Ali Imran:195) dan makna “Sebagian kamu adalah (keturunan) sebagaian yang lain” bahwa

perempuan berasal dari laki-laki dan laki-laki berasal dari perempuan, maka tidak ada permusuhan dan tidak ada pertentangan. Yang ada saling menyempurnakan, saling menyesuaikan dan saling tolong menolong.

Pemeliharaan Nasab
Afiliasi seseorang kepada asal-usulnya yang sah serta menjaga kesuciaan nasab dari ikhtilat (campur baur dengan nasab yang lain) adalah tujuan tersendiri dari syariat, berbeda dengan tujuan memelihara keturunan. Untuk mewujudkan tujuan ini maka Islam mengharamkan perzinaan, mengadopsi anak, danmensyariatkan hukum-hukum yang khusus mengatur tentang 'iddah, tidak boleh menyembunyikan janin yang masih di dalam kandungan, mengatur penetapan nasab, serta berbagai hukum syariat lainnya.

Afiliasi seseorang kepada asal-usulnya yang sah dan menjaga kesuciaan nasab dari ikhtilat (campur baur nasab) adalah tujuan ketiga dari tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah) dalam membina mahligai rumahtangga. Tujuan ini berdiri sendiri dan berbeda dengan tujuan pemeliharaan keturunan. Jika pernikahan syar'i adalah satu-satunya jalan untuk memiliki keturunan, maka al walad (anak) yang Allah ciptakan dari hormon sepasang suami-isteri diafiliasikan kepada mereka berdua; karena dengan ikatan nasab sang anak akan mendapatkan penjagaan dan pembinaan yang sepatutnya dari kedua orangtuanya. Dan nasab seseorang itu di tentukan melalui pintu pernikahan kedua orangtuanya sesuai dengan kaidahkaidahdan aturan-aturan khusus yang mengatur tentang hal itu. Karenanya penentuan nasab ini berimplikasi pada hukum syariah.

Hal yang lazim terjadi dalam masalah ini, biasanya nasab seseorang disandarkan kepada bapaknya, ketika terputus nasab dari bapaknya seperti jika terjadi li'an (seorang lelaki menuduh isterinya berzina dan perzinaan maka nasab seorang anak hanya disandarkan kepada ibunya, Rasulullah saw bersabda, “ Seorang anak adalah milik tempat tidur (ibunya), dan bagi lelaki pezina hanya mendapatkan batu (hukuman rajam) ” [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan Malik dalam Muwatha'nya dan Al-Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan IbnuMajah An Nasai dan Ad Darimi].

Seorang lelaki Pezina dikenakan hukuman (cambuk atau rajam) sementara anak hasil perzinaan itu tidak dinisbatkan kepada dirinya melainkan kepada ibunya. Sang anak menjadi ahli waris ibunya dan demikian pula sebaliknya. Seperti yang dijelaskan Rasulullah saw. Dalam kasus li'aan, beliau menisbatkan nasab seorang anak kepada ibunya dan bukan kepada bapaknya.


Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad radliyallahu'anhu, bahwa seseorang menemui Rasulullah saw lantas bertanya, “ Wahai, Rasulullah bagaimana menurut Anda jika seorang laki-laki melihat isterinya sedang berduaan dengan laki-laki lain, bolehkah dia membunuhnya dan mereka akan membalas membunuhnya (qishas)? Atau apa yang harus dia lakukan?” Maka Allah menurunkan wahyu tentang mereka berdua seperti apa yang disebutkan di dalam Al Quran tentang dua orang yang saling melakukan sumpah li'an ini, kemudian Rasulullah saw. Berkata, “ Telah diputuskan urusan kamu dengan isterimu itu.” Sahl mengatakan: lalu keduanya mengucapkan sumpah li’an, saat itu aku menjadi saksi bersama Rasulullah saw, lantas lelaki itu menceraikan isterinya.

Adalah menjadi suatu perbuatan sunnah untuk memisahkan dua orang yang melakukan sumpah li'an. Dan wanita itu hamil tapi dia mengingkari kehamilannya, maka anaknya dinisbatkan kepada dirinya. Kemudian sunnah yang berlaku dalam hal waris, anak tersebut mendapatkan hak waris dari ibunya dan demikian pula sebaliknya, sang ibu mendapat warisan sesuai bagian yang telah Allah tetapkan baginya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Untuk tujuan inilah Allah telah menghapus aturan adopsi anak dan memerintahkan kita untuk mengembalikan nasab anak-anak (yang diadopsi itu) kepada nasab yang sesuangguhnya (bapak atau ibunya), Allah berfirman:

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 4-5)

Rasulullah saw bersabda, “ Barangsiapa menyandarkan nasab dirinya kepada selain ayahnya, padahal dia tahu, maka haramlah baginya surga.” [hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad Darimi].

Dalam riwayat lain dikatakan, “ Siapa saja yang menisbatkan dirinya kepada selain ibu bapaknya atau kepada seseorang yang bukan tuannya yang telah memerdekakannya maka sesungguhnya dia akan dilaknat Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Tidak diterima perbuatannya [19] atau amal sholehnya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad, At Tirmidzi dan Ad Darimi, dan redaksi ini adalah riwayat Ahmad dan Ad Darimi)

Dalam rangka memelihara nasab ini juga Islam mengharamkan perzinaan dan mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang iddah, dan tidak memprbolehkan menyembunyikan janin yang masih di dalam rahim, mengatur masalah penetapan nasab dan pembatalannya, semuanya hukum-hukum ini dibahas secara detai dalam kitab-kitab fikih

Pemeliharaan Diri

Pernikahan secara sah akan mewujudkan nilai iffah (kesucian diri), memberikan pemeliharaan diri dari dosa dan menjaga kehormatan serta menutup rapat pintu dan sarana penyimpangan seksual dengan memberangus segala dampak dan kerusakan seks bebas dan dekadensi moral.

Islam memiliki karakteristik sebagai agama yang memelihara fitrah manusia, menerima realitasnya dan senantiasa berusaha mensucikannya serta menggapai derajat tertinggi dengannya, bukan membinasakan dan mengungkungnya. Allah swt berfirman:

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An Nisaa`: 14).

Ia merupakan hasrat dan syahwat yang sangat dicintai dan dinikati, akan tetapi ia harus ditempatkan pada tempat yang semestinya dan tidak menyalahi nilai yang lebih mulia dan lebih baik dalam kehidupan, telah mengambil kadar yang diperlukan dari hasrat tersebut dengan tidak berlebihan dan tidak tenggelam. Sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah saw kepada umatnya agar meletakkan setiap perkara sesuai dengan porsinya untuk menjaga iffah dan kesucian diri serta menjaga kehormatan, dan menutup rapat pintu dan sarana penyimpangan seksual dengan memberangus segala dampak dan kerusakan seks bebas dan

dekadensi moral.

Rasulullah saw. Bersabda: “wahai segenap para pemuda, siapa diantara kamu yang telah memiliki kemampuan, hendaknya dia menikah, karena ia lebih tepat untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan”. (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra. Dia diberitakan bahwa Abu Sufyan ra. Dia diberitakan bahwa Hiraql mengirimkan utusan kepadanya untuk menanyakan perihal Nabi Muhammad saw. Maka dia mengatakan: Nabi Muhammad saw. Menyuruh kami untuk mendirikan shalat, bersedekah, iffah dan menyambung tali silaturahim. (Hadits shahih,diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Menjaga Nilai-nilai Agama dalam Keluarga
Keluarga merupakan tempat bernaung bagi setiap individu manusia, bukan hanya untuk mengayomi tubuh mereka saja, tetapi yang lebih penting adalah menanamkan nilai-nilai agama, norma dan etika di dalam jiwa mereka. Tanggungjawab keluarga dalam masalah ini, lebih utama daripada proses pemilihan pasangan dengan pertimbangan memperbanyak keturunan. Artinya harus lebih mengutamakan standar agama dan akhlak dalam melakukan pilihan.

Tanggungjawab ini terus berlangsung dengan mengajarkan akidah, ibadah dan akhlak bagi setiap anggota keluarga serta melatih mereka untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan terus menindaklanjutinya hingga anak-anak menjadi dewasa. Serta melepaskan mereka memegang tanggungjawab dalam hal agama dan undang-undang dalam semua tindak an mereka.  Wallahu a’lam bishawwab.

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Template Created : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2012. PKS KOTA MAGELANG - All Rights Reserved
ReDesign by PKS KOTA MAGELANG
Powered by Blogger