Muh. Anis Matta. |
“Pahlawan Muda…di tangan merekalah, Indonesia akan mengambil
gilirannya, bukan hanya dalam mensejahterakan negerinya, tapi juga dalam
memimpin dunia yang mulai terseok-seok!”, kalimat itu ia teriakan
ditengah ribuan pendengar. Semua sepi, semua hening, dan nafas-nafas
tertahankan di dada hanya untuk mendengarkan setiap butir kata, yang ia
ucapkan penuh makna. Kata-katanya menjadi inspirasi, menyentuh pribadi,
bagi trainer, bagi guru, bagi penceramah, dan bagi seluruh pemuda di
penjuru negeri dengan semangat berapi-api.
Dia adalah H. Muhammad
Anis Matta, Lc. Masa mudanya tak ia habiskan berhura-hura, namun penuh
gelora berjuang dan membaca. Prestasi SD nya jelek tak seberapa, tapi di
Pesantren (Darul Arqam) Gombara, posisinya kukuh tak bergeser dari
kursi juara, dari tahun 80 hingga 86.
Organisasi dikenalnya sejak
kecil, dan kelas satu SMA sudah bukan lagi anggota biasa, tapi sudah
mampu menjadi instruktur IPM lalu kelas dua menjadi sekretaris cabang
Muhammadiyyah. Namun tumpukan prestasi masa muda tak membuat ia
berbangga. Ia rasakan kepedihan batin, keresahan membuncah-buncah, juga
panggilan nurani untuk tak henti mengasah diri. LIPIA Jakartalah jamuan
sejarah baginya walau kesempatan kuliah di Fikom UNHAS juga terbuka.
Ia
lahap dua belas jam sehari buku-bukunya saat liburan, dan lima jam di
luar diktat saat masa kuliahan. Bahkan dosen LIPIA nya berkata “jika
saja ada nilai lebih dari mumtaz, Anis Matta pasti kan mampu melibas“,
maka dari itu tak pernah sekalipun ia terkalahkan sebagai orang
tercerdas juga tergigih, dalam nilai kuliah akhir ataupun ratusan buku
mutakhir, dari Psikologi terapan, teori-teori belajar, pengembangan
diri, konsep-konsep Politik, negara, pergerakan, bisnis, dan
sastra-sastra tingkat dunia.
Setuntasnya dari kuliah, ia
menumpahkan semangat mudanya dalam pergerakan. Membina dan
berorganisasi, berceramah dan menulis, hingga tahun 1998 dipercaya
menjadi Sekretaris Jendral Partai Keadilan (PK), dan usianya barulah 30
tahun. Kinerja dan karya nyatanya ia sempurnakan dengan gilang-gemilang,
sampai-sampai tahun 2000 ia berkesempatan mengikuti program American
Young Council for Young Politician Leader (ACYPL) di Amerika. Tak kurang
bergengsinya, setelah ia menamatkan Kursus Singkat Angkatan (KSA)
Lemhanas, ia kemudian menjadi instukturnya, tak kepalang tanggung,
jendral-jendral ia latih disana.
Sekarang ia berjuang dalam
posisinya sebagai wakil ketua DPR RI. Dan tetap dipercaya sebagai
sekretaris jenderal PKS, sehingga ada anekdot ‘siapapun presiden PKS,
sekjennya Anis Matta’. Bakat masa kecilnya sebetulnya cerpen dan puisi.
Keduanya lalu tenggelam dan terkubur beberapa lama, tapi kembali
menyeruak di masa-masa kini, membuat tulisan-tulisan ilmiahnya kuat,
berisi, dan sastrawi. “cerdas bermetafora, puitis disini sana” Taufiq
Ismail Sang Penyair mengomentari, juga fasihun, balighun, muatsirun
finnafs sesuai balaghoh sejati. Semua keindahan tulisan, dan kejelian
analisis itu terkumpul dalam ‘Konsep Seni dalam Islam‘ (1995), ‘Wawasan
Islam dan Ekonomi’ (1997), ‘Sepanjang Hari Bersama Allah: Seni Berdo’a’
(1997), ‘Biar kuncupnya mekar menjadi bunga’ (2000), ‘Membangun karakter
muslim’ (2002), ‘Model Manusia Muslim Abad 21′ (2002), ‘Menikmati
Demokrasi’ (2003), ‘Dari Gerakan ke Negara’ (2006), ‘Serial Cinta’
(2006). Dan gaya tulisannya bisa dikatakan bermuatan berat seberat Malik
bin Nabi namun indah seindah Mustafa Sadek Arrafi’i.
Ia pernah
beberapa kali menjadi penerjemah khusus jika Syaikh Yusuf Qardawi
berkunjung ke Indonesia. Dan ketika Yusuf Qardawi, dalam sebuah ceramah,
mempersilakan Anis Matta untuk menterjemahkan kata-katanya setiap
sepuluh menit, dengan percaya diri Anis Matta mempersilakan Yusuf
Qardawi melanjutkan ceramahnya, dan ia terjemahkan setelahnya ke dalam
bahasa Indonesia sepanjang aslinya, hebatnya lagi dengan terjemahan
tekstual, bukan tafsiran.
Anis sering didaulat mengisi bermacam
ceramah, seminar, taushiah, di berbagai komunitas: komunitas remaja,
orang kantoran, pejabat, aktivis, mahasiswa, ibu-ibu, juga kalangan jet
set yang jika ditawari ‘amplop’ ceramah puluhan juta, ditolaknya dengan
halus, karena selain ia ingin menyebar nilai Islam di berbagai lapisan
masyarakat, ia ingin pula membangun persahabatan dengan beragam lapisan
itu tanpa imbalan. Ia tak hanya berda’wah di dalam negeri, suaranya
melengking hingga menembus negara-negara asing, benua Amerika, puluhan
negara Eropa, jepang, Australia, dan negera-negara Timur Tengah
tentunya. Sehingga ia mengokohkan dirinya sebagai seorang da’i, pemikir
muslim, ilmuan, berlevel internasional, ini dari satu sisi.
Sedang
dari sisi lain, ia sedang tumbuh menjadi negarawan baru bangsa.
Ceramahnya yang dulu bertempo lambat, sering terbata-bata dan salah
kata, telah ditambal dan di sulam. Ia sekarang mampu beretorika dalam
debat-debat nasional, dengan argumen logis, sistematis, puitis, dan
berbekal data-data empiris. Sehingga misalnya dalam dialog-dialog besar
yang menghadirkan para doktor politik dan sosial, aura mereka tenggelam
dalam bangunan keilmuan Anis yang tinggi menjulang, luas membentang,
hanya bermodalkan Lc pula. Ia adalah satu-satunya debator yang ditakuti
Ulil Abshar Abdalla Sang Kordinator JIL yang kesohor itu, sehingga ia
ciut tidak berani menghadapi Anis dalam debat publik.
Lebih jauh
lagi, Anis telah mengembangkan kemampuan baru retorikanya: orasi. Walau
belum lagi sempurna, namun ia sedang berjalan memenuhi kualifikasi
seorang negarawan yang dibutuhkan Indonesia sebagaimana dalam
tulisannya, ‘bukan karena kita menang pemilu saja maka kita memimpin’ ,
ia melihat bahwa basic competent seorang pemimpin negara adalah
Narrative Intelligent, yang terwujud dalam orasi dan tulisan yang tajam.
Sehingga Anis berkukuh bahwa seorang pemimpin besar haruslah orator
ulung dan penulis yang memukau, mutlak, jika tidak, ia tidak akan abadi.
Dan ketika ditanyakan bangunan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
menjadi seorang negarawan, ia mengurutkan “…sejarah, sastra, dan
kebudayaan, baru ke Psikologi, Sosiologi, Ekonomi, Hukum, dan ilmu
politik. Selain itu basis bahasa dan ilmu komunikasi, negarawan adalah
pemikir strategis dan pelaku kepemimpinan, designing and leading“. Dan
Anis dalam perjalanan mencapainya, di usianya yang baru akan mencapai 44
tahun pada 7 Desember nanti.
Gagasan-gagasan iklan PKS Anis,
dikenal kontroversial, namun seorang pakar hipnotis asal Bandung,
Muhammad Isman Richmarch Hakim, mengatakan bahwa iklan-iklan itu justru
iklan Politik tercerdas yang pernah ada karena selain muatannya berisi
pesan bijak kepahlawanan, juga karena sekali-dua kali beriklan saja
namun meraup simpati massa meruah-ruah tak terkira, sebuah tambahan lagi
bagi prestasinya, karena ialah sang panglima TPPN (Tim Pemenangan
Pemilu Nasional) PKS saat pemilu 2009.
Bagi Anis, “..kerja belum
selesai, belum apa-apa” sebagaimana syair Chairil yang dikutipnya di
tulisan ‘O, Pahlawan Negeriku ‘, ia berkeyakinan bahwa orang besar
adalah orang yang berorientasi pada kerja-kerja besar, cita-cita besar
dan melupakan semua kerja-kerja kecil yang pernah diraih. Orang besar
diukur oleh kontribusi pada kemanusiaan, sehingga ia pernah berseru-seru
dalam puisinya agungnya, Nyanyian Pahlawan, “Katakan padaku wahai hari,
apa yang dapat kuberikan pada sejarah hari ini, katakan padaku wahai
malam, berapa bintang kau perlukan untuk menerangi langitmu“. Sehingga
wajar saja bagi PKS yang meyakini kesepakatan tak tertulis bahwa jika
ada agenda-agenda raksasa partai yang mustahil, serahkan saja pada Anis
Matta.
Dan standar cita-cita bagi Anis, ketika saatnya PKS
memimpin dan membangun negara Indonesia, semua itu bukanlah akhir, tapi
awal sebuah peradaban dunia. Sehingga yang tersisa adalah ungkapan
pemikir Syiria, Syakib Arslan ‘Ma a’dzama hadza diin lau kana lahu rijal
‘ (alangkah besar agama ini kalau saja ia memiliki tokoh-tokoh besar).
Lelaki itu telah ada, dan telah lahir. Sudah meraup bermacam ilmu serta
berkeras tekad sejak dahulu. Indonesia sedang menunggunya naik
gelanggang. Indonesia sedang menyaksikan seorang anak kampung Bone
Sulawesi Selatan tumbuh untuk mengguncang bangsa. Dimana dia berada?
Anak kampung itu melantangkan lagi puisinya “Wahai Umat wahai bangsa,
Aku selalu ada disini, saat darah saat air mata, Aku datang mengantar
umat, pada gerbang sejarah baru”. [Muhammad Elvandi, Lc. | dakwatuna]
0 komentar:
Posting Komentar